Tepatnya
dua tahun yang lalu, sudah lama sekali memang. Aku pun tidak tahu tepatnya
kapan perasaan ini muncul. Perasaan ini tenang namun menjadi tidak beraturan
saat dekat dengannya. Jangankan dekat, hanya sekedar melihatnya saja itu sudah
cukup untukku. Cukup aku mencintainya dalam diam.
“Taniaaaaaaaaaaa”
Aku
terbangun dari lamunanku. Suara yang tidak asing dan satu-satunya suara yang
mampu membuatku jatuh cinta. Dan seperti biasa, sapaan hangatnya membuat mood
ku bahkan menjadi sangat baik.
“Ada
apa?” Aku berusaha sedatar mungkin.
“Ngg....
Nanti aku tunggu di lapangan basket jam 3 ya.”
“Untuk
apa? Melihatmu bermain basket lagi? Aku enggak bisa. Hari ini ada kelas.”
“Bukan!
Ini penting. Aku tunggu jam 3.”
Lagi-lagi
dia menuntut sesuatu yang tidak bisa aku tolak dan tanpa pikir panjang aku
langsung menyetujuinya. Entahlah, asal itu bersamanya aku rela. Aku mau dan
selalu bersedia.
“Maaf
telat. Mau ngomong apa?”
“Ini............”
Dia
memberikanku secarik kertas dan memintaku untuk membacanya. Pelan tapi pasti
aku membacanya dengan hati-hati. Aku tertegun. Tanpa sadar aku menitikkan air
mata. Dan baru kali ini aku menangis karena perlakuannya. Perlakuan Randi. Aku
terharu karena baru kali ini dia rela melakukan sesuatu demi membuatku bahagia.
Ya, itu adalah formulir lomba novel yang dari dulu aku inginkan. Kali ini pun
entah karena apa aku lebih bersemangat. Mungkin, lagi-lagi karena Randi. Dan
secara tidak langsung aku melakukan semua ini karenanya.
########
Hujan.
Bisikku dalam hati. Seandainya disini ada Randi, pasti dia suka. Menghabiskan
waktu diluar demi melihat dan merasakan hujan. Randi sangat suka dengan hujan. Jika
sudah hujan dia pasti membentangkan tangannya dan membiarkan rintik hujan jatuh
ke tangannya.
“Inget
Randi ya?”
“Eh
Luna. Ngagetin aja.”
“Gimana
hubungan kalian? Apa cuma bisa stuck dengan bersahabat aja?”
“Entahlah.
Dia susah ditebak. Mungkin keadaan aman ya seperti ini. Aku tetap mencintainya
tanpa sepengetahuannya.”
“Yakin
akan bertahan? Cinta dalam diam itu sakit loh.”
“Akan
bertahan? Lalu selama dua tahun aku mencintainya dan tetap memilih diam, apa
namanya kalau bukan bertahan? Selama bisa jadi penyemangat untuk dia, itu udah
lebih dari cukup.”
“Terkadang
kita harus berani, nggak usah selalu beraada di garis aman. Jatuh lalu bertahan lagi dan lagi demi orang yang kita
cinta. Sakit bukan? You know what i mean, dear. Berjuanglah jika memang dia
pantas diperjuangkan.”
Aku
diam dan mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulut Luna. Dia benar,
setidaknya pembicaraan dengannya membuat aku semakin yakin jika Randi memang
pantas diperjuangkan.
########
Tania
sedang duduk sendiri ditempat dia biasa menghabiskan waktu bersama Randi. Sore itu memang tidak seperti
biasanya, Tania terlihat sangat pendiam. Bahkan dihadapan Randi pun dia
terkesan dingin. Tiba-tiba dadanya sesak, matanya memanas, hatinya sakit dan
perih. Tanpa sadar pun air mata mengalir deras di pipinya. Dia pun
menenggelamkan wajahnya dibalik kedua tangannya demi menyembunyikan isak
tangisnya.
“Aku
tau kamu sedang ada masalah. Tapi sejak kapan sih kamu jadi nyembunyiin
semuanya dari aku dan ngebiarin diri kamu sendiri yang nanggung semuanya, tanpa
bicara, tanpa berbagi.” Randi pun tiba-tiba muncul. Entah darimana, entah
dengan radar apa dia mengetahui keberadaanku disini.
“Aku
baik-baik aja. Aku cuma butuh waktu sendiri aja. Leave me alone, please!” Tania
setengah memohon.
“Baiklah
aku pergi. But you know? I’m always here. Aku ada kalau kamu butuh.”
Sepeninggal
Randi aku menangis sejadi-jadinya. Aku benci dengan keadaanku yang seperti ini.
Aku benci mengapa harus aku yang mencintai Randi. Percuma! Bagaimanapun itu
akan selalu ada yang terluka. Dan itu aku.
And
i lift my hands and pray
To
be only yours
I
pray to be only yours
I
know now you’re my only hope.
########
Dari
jauh Randi melihat Tania sedang duduk sendiri di taman. Dengan pelan-pelan dan
sedemikian mungkin mengatur degup jantungnya, dia pun menghampiri Tania.
“Sendiri
aja? Luna mana?”
“Dia
lagi ada kelas.”
Biasanya
saat mereka sedang berdua, diantara mereka pasti tidak ada yang mau mengalah
saat sedang menceritakan sesuatu entah apapun itu. Tapi kali ini berbeda, ada
jeda panjang diantara mereka yang seolah-olah mereka ciptakan untuk menutupi
kecanggungan masing-masing.
“Ngg..
Masalah kemarin maaf ya kalau aku terkesan terlalu maksa untuk nyuruh kamu
cerita. Sekarang aku nggak akan maksa lagi kok. Itu privasi kamu dan aku hargai
itu, I’m swear!” Randi tersenyum dan mengangkat dua jari seperti yang biasa kebanyakkan
orang lakukan untuk berjanji. Cara sederhana namun diam-diam Tania
mempercayainya.
“Maaf
ya kalau untuk masalah kemarin aku nggak bisa cerita. Mungkin suatu saat kamu
akan tau kok.”
Jeda
lagi diantara mereka........
“Duh
jadi canggung gini, jangan diem aja Tania. Ngg... Gini deh, aku traktir ice
cream yuk! Pasti mau kan!”
“Mauuuuuuuuu!”
Ayo ayo Randi!
Dan
sejak itulah hubungan mereka membaik. Randi bersyukur, karena setidaknya dia
tidak akan kehilangan orang yang paling dicintainya. Tania.
########
Hari
ini tepat tanggal 14 Juni, hari ulang
tahun Tania. Randi yang sudah menyiapkan kado dari satu bulan yang lalu merasa
gelisah, karena tepat hari ini dia akan menyatakan perasaannya pada Tania. Dari
satu bulan yang lalu Randi sudah membeli satu boneka elmo besar dan satu paket
aksesoris Harry Potter yang memang kesukaan Tania. Handphone Randi pun
bergetar, ada sms masuk rupanya dan itu dari Tania yang mengabarkan bahwa dia
sudah menunggu Randi di kafe tempat biasa.
“Sebentar ya Tania. Just wait a moment and I’ll be
there.”
Sebentar
lagi sampai. Sabar. Sabar. Randi memerintah dalam hatinya. Namun
sayangnya tanpa pernah Randi sadari truk tronton melintas didepannya dan
menyalip mobil Randi dengan kecepatan tinggi. Randi pun oleng dan kehilangan
kendali. Alhasil mobil Randi terperosok dalam lubang. Randi pun terluka parah
dibagian kepalanya.
“Randi
kamu kemana sih! Angkat dong telfonnya.” Tania gusar. Lalu sedetik kemudian
handphone Tania berdering yang menandakan ada telefon masuk.
########
“Maaf
kami sudah menanganinya semaksimal mungkin. Namun benturan hebat dikepalanya
membuat ia tidak bisa bertahan.” Hanya itu kata-kata dokter yang masih Tania
ingat. Tania tidak bisa membohongi perasaanya, dia terlalu hancur. Tak pernah terbayang
ini akan terjadi. Dia hanya bisa menumpahkan semuanya seorang diri, tidak ada
lagi tempat berbagi. Dia tidak perduli jika di hari ulang tahunnya aka gagal
total. Yang dia inginkan hanyalah Randi ada disini. Dia hanya ingin memeluk
Randi dan berharap ini semua hanyalah mimpi buruk. Jangan pernah minta aku
bertahan, jika kamu saja tak bisa bertahan untukku, Randi.
Dan
tepat dimalam ini aku kehilangan semuanya, kehilangan sang penyemangatku. Aku
harus ikhlas jika memang inilah yang Tuhan takdirkan. Nyatanya ini sudah ku
alami.
Tanpa
Tania cegah, matanya memanas, tatapannya kosong sementara air mata terus
mangalir di pipinya. Dia yakin hari-hari selanjutnya akan terasa berat tanpa
sosok Randi.
Air mata
pun jatuh tak tertahan melihatmu terdiam.
Ternyata
kau pergi tuk selamanya,
Tinggalkan
diriku dan cintaku.
Apa kau
melihat dan mendengar tangis kehilangan dariku.
Baru
saja ku ingin kau tau perasaanku.
Randi
aku berdiri disini untukmu. Terima kasih untuk semuanya, kini aku ikhlas. Hanya
saja jangan salahkan aku jika aku belum terbiasa. Tuhan, aku titip Randi, jagi
ia. Titip salamku untuknya. Kini, esok dan selamnya kau akan tetap ada dihatiku
yang terdalam, walaupun kini aku hanya bisa memelukmu dalam doa. Selamat
tinggal Randi. Tania pun melangkah pergi. Tanpa tangisan dan tanpa air mata.
Hampa.