Minggu, 11 November 2012

It's Always Been You


                Tepatnya dua tahun yang lalu, sudah lama sekali memang. Aku pun tidak tahu tepatnya kapan perasaan ini muncul. Perasaan ini tenang namun menjadi tidak beraturan saat dekat dengannya. Jangankan dekat, hanya sekedar melihatnya saja itu sudah cukup untukku. Cukup aku mencintainya dalam diam.
                “Taniaaaaaaaaaaa”
                Aku terbangun dari lamunanku. Suara yang tidak asing dan satu-satunya suara yang mampu membuatku jatuh cinta. Dan seperti biasa, sapaan hangatnya membuat mood ku bahkan menjadi sangat baik.
                “Ada apa?” Aku berusaha sedatar mungkin.
                “Ngg.... Nanti aku tunggu di lapangan basket jam 3 ya.”
               “Untuk apa? Melihatmu bermain basket lagi? Aku enggak bisa. Hari ini ada kelas.”
                “Bukan! Ini penting. Aku tunggu jam 3.”
                Lagi-lagi dia menuntut sesuatu yang tidak bisa aku tolak dan tanpa pikir panjang aku langsung menyetujuinya. Entahlah, asal itu bersamanya aku rela. Aku mau dan selalu bersedia.
                “Maaf telat. Mau ngomong apa?”
                “Ini............”
                Dia memberikanku secarik kertas dan memintaku untuk membacanya. Pelan tapi pasti aku membacanya dengan hati-hati. Aku tertegun. Tanpa sadar aku menitikkan air mata. Dan baru kali ini aku menangis karena perlakuannya. Perlakuan Randi. Aku terharu karena baru kali ini dia rela melakukan sesuatu demi membuatku bahagia. Ya, itu adalah formulir lomba novel yang dari dulu aku inginkan. Kali ini pun entah karena apa aku lebih bersemangat. Mungkin, lagi-lagi karena Randi. Dan secara tidak langsung aku melakukan semua ini karenanya.

########
                Hujan. Bisikku dalam hati. Seandainya disini ada Randi, pasti dia suka. Menghabiskan waktu diluar demi melihat dan merasakan hujan. Randi sangat suka dengan hujan. Jika sudah hujan dia pasti membentangkan tangannya dan membiarkan rintik hujan jatuh ke tangannya.
                “Inget Randi ya?”
                “Eh Luna. Ngagetin aja.”
                “Gimana hubungan kalian? Apa cuma bisa stuck dengan bersahabat aja?”
                “Entahlah. Dia susah ditebak. Mungkin keadaan aman ya seperti ini. Aku tetap mencintainya tanpa sepengetahuannya.”
                “Yakin akan bertahan? Cinta dalam diam itu sakit loh.”
             “Akan bertahan? Lalu selama dua tahun aku mencintainya dan tetap memilih diam, apa namanya kalau bukan bertahan? Selama bisa jadi penyemangat untuk dia, itu udah lebih dari cukup.”
                “Terkadang kita harus berani, nggak usah selalu beraada di garis aman. Jatuh lalu  bertahan lagi dan lagi demi orang yang kita cinta. Sakit bukan? You know what i mean, dear. Berjuanglah jika memang dia pantas diperjuangkan.”
                Aku diam dan mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulut Luna. Dia benar, setidaknya pembicaraan dengannya membuat aku semakin yakin jika Randi memang pantas diperjuangkan.

########

        Tania sedang duduk sendiri ditempat dia biasa menghabiskan waktu  bersama Randi. Sore itu memang tidak seperti biasanya, Tania terlihat sangat pendiam. Bahkan dihadapan Randi pun dia terkesan dingin. Tiba-tiba dadanya sesak, matanya memanas, hatinya sakit dan perih. Tanpa sadar pun air mata mengalir deras di pipinya. Dia pun menenggelamkan wajahnya dibalik kedua tangannya demi menyembunyikan isak tangisnya.
                “Aku tau kamu sedang ada masalah. Tapi sejak kapan sih kamu jadi nyembunyiin semuanya dari aku dan ngebiarin diri kamu sendiri yang nanggung semuanya, tanpa bicara, tanpa berbagi.” Randi pun tiba-tiba muncul. Entah darimana, entah dengan radar apa dia mengetahui keberadaanku disini.
                “Aku baik-baik aja. Aku cuma butuh waktu sendiri aja. Leave me alone, please!” Tania setengah memohon.
                “Baiklah aku pergi. But you know? I’m always here. Aku ada kalau kamu butuh.”
               Sepeninggal Randi aku menangis sejadi-jadinya. Aku benci dengan keadaanku yang seperti ini. Aku benci mengapa harus aku yang mencintai Randi. Percuma! Bagaimanapun itu akan selalu ada yang terluka. Dan itu aku.
                And i lift my hands and pray
                To be only yours
                I pray to be only yours
                I know now you’re my only hope.

########

                Dari jauh Randi melihat Tania sedang duduk sendiri di taman. Dengan pelan-pelan dan sedemikian mungkin mengatur degup jantungnya, dia pun menghampiri Tania.
                “Sendiri aja? Luna mana?”
                “Dia lagi ada kelas.”
                Biasanya saat mereka sedang berdua, diantara mereka pasti tidak ada yang mau mengalah saat sedang menceritakan sesuatu entah apapun itu. Tapi kali ini berbeda, ada jeda panjang diantara mereka yang seolah-olah mereka ciptakan untuk menutupi kecanggungan masing-masing.
                “Ngg.. Masalah kemarin maaf ya kalau aku terkesan terlalu maksa untuk nyuruh kamu cerita. Sekarang aku nggak akan maksa lagi kok. Itu privasi kamu dan aku hargai itu, I’m swear!” Randi tersenyum dan mengangkat dua jari seperti yang biasa kebanyakkan orang lakukan untuk berjanji. Cara sederhana namun diam-diam Tania mempercayainya.
                “Maaf ya kalau untuk masalah kemarin aku nggak bisa cerita. Mungkin suatu saat kamu akan tau kok.”
                Jeda lagi diantara mereka........
                “Duh jadi canggung gini, jangan diem aja Tania. Ngg... Gini deh, aku traktir ice cream yuk! Pasti mau kan!”
                “Mauuuuuuuuu!” Ayo ayo Randi!
                Dan sejak itulah hubungan mereka membaik. Randi bersyukur, karena setidaknya dia tidak akan kehilangan orang yang paling dicintainya. Tania.

########

                Hari ini tepat tanggal 14 Juni,  hari ulang tahun Tania. Randi yang sudah menyiapkan kado dari satu bulan yang lalu merasa gelisah, karena tepat hari ini dia akan menyatakan perasaannya pada Tania. Dari satu bulan yang lalu Randi sudah membeli satu boneka elmo besar dan satu paket aksesoris Harry Potter yang memang kesukaan Tania. Handphone Randi pun bergetar, ada sms masuk rupanya dan itu dari Tania yang mengabarkan bahwa dia sudah menunggu Randi di kafe tempat biasa.
              “Sebentar ya Tania. Just wait a moment and I’ll be there.”
           Sebentar lagi sampai. Sabar. Sabar. Randi memerintah dalam hatinya. Namun sayangnya tanpa pernah Randi sadari truk tronton melintas didepannya dan menyalip mobil Randi dengan kecepatan tinggi. Randi pun oleng dan kehilangan kendali. Alhasil mobil Randi terperosok dalam lubang. Randi pun terluka parah dibagian kepalanya.
                “Randi kamu kemana sih! Angkat dong telfonnya.” Tania gusar. Lalu sedetik kemudian handphone Tania berdering yang menandakan ada telefon masuk.

########

“Maaf kami sudah menanganinya semaksimal mungkin. Namun benturan hebat dikepalanya membuat ia tidak bisa bertahan.” Hanya itu kata-kata dokter yang masih Tania ingat. Tania tidak bisa membohongi perasaanya, dia terlalu hancur. Tak pernah terbayang ini akan terjadi. Dia hanya bisa menumpahkan semuanya seorang diri, tidak ada lagi tempat berbagi. Dia tidak perduli jika di hari ulang tahunnya aka gagal total. Yang dia inginkan hanyalah Randi ada disini. Dia hanya ingin memeluk Randi dan berharap ini semua hanyalah mimpi buruk. Jangan pernah minta aku bertahan, jika kamu saja tak bisa bertahan untukku, Randi.
         Dan tepat dimalam ini aku kehilangan semuanya, kehilangan sang penyemangatku. Aku harus ikhlas jika memang inilah yang Tuhan takdirkan. Nyatanya ini sudah ku alami.
       Tanpa Tania cegah, matanya memanas, tatapannya kosong sementara air mata terus mangalir di pipinya. Dia yakin hari-hari selanjutnya akan terasa berat tanpa sosok Randi.
Air mata pun jatuh tak tertahan melihatmu terdiam.
Ternyata kau pergi tuk selamanya,
Tinggalkan diriku dan cintaku.
Apa kau melihat dan mendengar tangis kehilangan dariku.
Baru saja ku ingin kau tau perasaanku.
           Randi aku berdiri disini untukmu. Terima kasih untuk semuanya, kini aku ikhlas. Hanya saja jangan salahkan aku jika aku belum terbiasa. Tuhan, aku titip Randi, jagi ia. Titip salamku untuknya. Kini, esok dan selamnya kau akan tetap ada dihatiku yang terdalam, walaupun kini aku hanya bisa memelukmu dalam doa. Selamat tinggal Randi. Tania pun melangkah pergi. Tanpa tangisan dan tanpa air mata. Hampa.


0 komentar:

Posting Komentar