Tampilkan postingan dengan label Warung Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Warung Sastra. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 April 2013

Untumu. Aku Rela




Nindy masih terbaring lemah tak berdaya di salah satu kamar rumah sakit yang ia tempati. Nata yang sedari tadi menemani Nindy di rumah sakit pun dibuat kalut karena gadis itu masih belum  juga sadarkan diri. Hati Nata sakit melihat keadaan Nindy yang tak kunjung pulih. Gadis itu telihat sangat lemah dan pucat pasi. Dia memikirkan bagaimana jika Nindy tidak terselamatkan? Bagaimana jika jantung baru yang ada ditubuh Nindy tidak diterima oleh tubuhnya. Bagaimana kalau? Ah Tuhan! Mengapa aku harus berpikir semua kemungkinan terburuk itu??!!

“Nat…? Kau melamun?”
“Ah iya, kau berbicara apa tadi?” Nata tersenyum masam.
“Aku tanya, kau tidak pulang? Istirahatlah dirumah, biar aku yang menjaga Nindy disini. Kau tampak kacau.”
“Ya mungkin aku harus beristirahat. Tapi..?” Nata menoleh ke arah Nindy.
“Tenanglah, kau tidak perlu kawatir. Aku sahabat Nindy, tidak mungkin aku tidak menjaganya. Percayalah padaku.” Difa tersenyum meyakinkan Nata.
“Baiklah nanti malam aku kembali. Terima kasih Difa, aku berhutang padamu.” Nata tersenyum tulus.
“Sama-sama Nat.” Difa pun ikut tersenyum dan memamerkan lesung pipinya.

Nata melamun lagi. Dia kembali memikirkan kemungkinan terburuk yang akan dialami Nindy. Oh Demi Tuhan!  Mengapa harus bayangan-bayangan buruk itu yang selalu menghantui Nata, dia bisa gila kalau terus seperti ini.  Mungkin Nata rasa dia harus keluar sekedar barjalan-jalan sore untuk  mencari udara segar. Difa benar Nata memang sedang sangat kacau.


****
Nata menghempaskan keras tubuhnya di sofa. Nata berniat kembali ke rumah sakit untuk menjaga Nindy, tapi karena orang tua Nindy tidak mengizinkan dengan alasan Nata harus beristirahat demi menjaga kondisi tubuhnya. Nata pun dengan sangat terpaksa mengurungkan niatnya. Yaa, mungkin dia memang harus beristirahat sebelum besok pagi ia harus kembali ke rumah sakit.

“Ada apa, Nat? Kau terlihat muram.”
“Aku tidak apa-apa Bian.” Jawab Nata enggan kepada Bian, adiknya.
“Bagaimana keadaan Nindy? Sudah ada kemajuan?”
“Belum. Nindy masih belum sadarkan diri pasca operasi transplantasi jantungnya kemarin, entahlah aku hanya takut kalau Nindy…” Nata diam dan ragu meneruskan kata-katanya.
“Jangan begitu, berdoalah untuknya, bukan malah memikirkan hal buruk yang akan menimpa Nindy. Percayalah padaku Nindy akan sembuh seperti sediakala.”
“Ya, aku harap begitu. Terima kasih Bian.”
Bian pun bangun dan beranjak pergi meninggalkan Nata yang lagi-lagi diam.
 ****
Keesokannya keadaan Nindy sudah pulih. Dia sudah sadarkan diri dan keadaannya berangsur-angsur membaik. Nata yang sedari pagi menemaninya pun merasa sangat bahagia karena akhirnya dia bisa melihat lagi senyum Nindy, dia sangat merindukan Nindy. Kekasihnya.

“Sini aku bantu.” Dengan hati-hati Nata membantu Nindy duduk. Sejujurnya Nata merasa Nindy masih terlalu lemah, tapi setidaknya dia bersyukur, dia masih memiliki harapan besar untuk Nindy sembuh.
“Terima kasih, Nat. Aku senang akhirnya bisa melihat senyummu lagi. Bagaimana keadaanmu? Kau terlihat jauh lebih kurus.”
“Aku? Aku sangat baik.” Nata pun tersenyum dan mencium kening Nindy. Sementara dari luar kamar, Difa melihat kebahagiaan itu dari wajah Nindy, pipi Nindy merona merah dan matanya berbinar-binar. Jelas sekali ada kebahagiaan disitu. Difa tahu Nindy beruntung memiliki Nata.
“Aku rasa kehadiranku disini mengganggu kalian. Tapi berhubung aku tidak sabar bertemu Nindy, jadi aku harap kalian tidak marah jika aku mengganggu kalian. Aku janji hanya sebentar.” Difa tersenyum geli dan melirik Nata.
“Ah tidak! Tentu kau tidak mengganggu. Aku merindukanmu Difa.” Nindy pun memeluk Difa. Erat.
Well, aku rasa aku akan membiarkan kalian berdua saling melepas rindu. Sementara aku akan kebawah mencari kopi.”
Difa dan Nindy pun tertawa geli.

****
 
Hari ini keadaan hati Nata sangat baik. Dia terlihat sangat ceria. Bahkan kebahagiaan jelas-jelas terlihat di wajahnya. Ya, dia bahagia sudah bisa melihat senyum Nindy, mendengar suaranya. Semua itu membuat Nata tenang dan membuat dia semakin merindukan Nindy. Nata semakin takut kehilangan Nindy. Untuk Nindy, aku bersedia melakukan apapun, dalam hatinya.

“Nggg….Nat?”
“Iya ada apa?” Jawab Nata lembut.
“Kalau aku sudah sembuh nanti, aku masih ingin melanjutkan pendidikanku di Jepang.”

Hati Nata mencelos, baru saja dia merasa bahagia Nindy sudah kembali. Yaa, Nata bahagia Nindy sudah kembali lagi bersamanya setelah beberapa hari dia terbaring lemah tak sadarkan diri. Tapi sekarang rasanya kebahagiaan itu lenyap. Ia merasa hampa. Apa dia harus melepas Nindy untuk jauh darinya sementara Nata tidak yakin dia bisa melakukan hal itu. Tanpa Nindy.

“Nat?”
“Hah? Iya? Ngg…Menurutku…” Nata tidak melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa? Kau tidak setuju ya?” Kekecewaan jelas terlihat di mata Nindy.
“Bukan, bukan begitu. Tapi apa kau sudah yakin? Maksudku melihat keadaanmu yang belum begitu pulih?”
“Nataaaaaa, aku sudah bilang bukan, aku ingin melanjutkan pendidikanku di Jepang setelah nanti aku benar-benar sembuh. Kau tidak perlu khawatir.” Nindy tersenyum meyakinkan.
“Jika itu memang mimpimu, aku tidak mempunyai alasan lain selain menyetujuinya.” Nata tersenyum menenangkan Nindy. Tapi jauh, jauh sekali dilubuk hatinya dia mulai merasa takut. Dan rasa takut itu muncul lagi.

 ****
Jika itu memang mimpimu, aku tidak mempunyai alasan lain selain menyetujuinya. Nindy tersenyum mengingat kata-kata yang diucapkan Nata tadi.  Nata begitu mengerti apa yang diinginkan Nindy. Nata begitu berharga untuknya. Nindy bahkan rela meletakkan kebahagiaan Nata diatas kebahagiaannya. Nindy tahu bahwa sejak awal dia sudah benar mencintai Nata. Ini semua yang membuat Nindy bertahan melawan penyakitnya. Demi dirinya, demi orang tuanya, dan demi Nata.

“Hai sayang, kata dokter hari ini kamu sudah diizinkan pulang, nanti orang tuamu akan menyusul.”
Nindy mengerjap, matanya berbinar-binar. Dia bahagia. Sangat bahagia. Jika sudah diperbolehkan pulang, otomatis keadaannya sudah membaik. Dan itu pertanda bagus.
“Benarkah? Ah, aku tidak sabar pulang. Aku sudah bosan disini, setiap hari selalu mencium bau obat-obatan.” Nindy mendengus kesal dan spontan membuat Nata tertawa.
“Dan satu lagi, kata dokter keadaanmu sudah pulih dan keadaan jantungmu semakin hari semakin membaik. Aku senang mendengar apa kata dokter tadi.” Nata tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, dia sangat bahagia Nindy sudah sembuh.
Dan jadilah hari ini hari paling menyenangkan sekaligus membahagiakan untuk Nindy. Hari ini sempurna. Ucap Nindy dalam hati.

****
 
Satu bulan berlalu, itu tandanya dia sudah harus pergi untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu Universitas ternama di Jepang. Perasaannya bercampur aduk, dia bahagia bisa meraih mimpinya. Tapi dia sangat berat meninggalkan orang tuanya, Difa dan Nata. Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk Nindy terbiasa tanpa Nata.

“Aku akan baik-baik saja disana, setiap liburan aku pasti akan pulang ke Indonesia untuk menemanimu.”
Nata tersenyum, dia tidak bisa berkata apa-apa. Dia merasa kehilangan, benar-benar akan kehilangan.
“Jangan diam saja, bicaralah.”
“Aku akan merindukanmu. Tolong jaga dirimu baik-baik disana, jaga kesehatanmu.”
“Pasti!” Jawabnya mantap. “Ngg…Nat, tunggu aku ya, aku pasti kembali untukmu. Jangan lelah menungguku. Aku mohon, bersabarlah sampai aku benar-benar kembali untukmu.” Nada suara Nindy melemah.
“Tanpa kau minta, tanpa kau paksa aku pasti akan selalu menunggumu, aku pasti akan menyempatkan untuk mengunjungimu ke Jepang.”
“Aku menyayangimu, Nat. Sungguh!” Mata Nindy mulai berkaca-kaca, ternyata meninggalkan Nata sangat sulit untuknya.
“Sudah jangan menangis, baik-baiklah disana. Aku pasti menunggumu.” Mata Nata memanas, dia takut air mata akan jatuh di pipinya, dia pun membuang muka demi menahan jatuh air matanya.

Nata pun memeluk Nindy erat. Ia takut, sangat takut akan kehilangan Nindy. Setelah Nindy berpamitan pada Difa dan orang tuanya yang mengantarnya ke bandara. Sekali lagi, dia menoleh ke arah Nata dan memeluk Nata sangat erat. Lalu berjalan memasuki area bandara.

Nindy kejarlah mimpimu. Disini aku akan selalu mendukungmu dan mendoakanmu. Empat tahun tidak akan lama, aku yakin itu. Cepatlah pulang, aku menunggumu. Nata pun berbalik dan air mata sudah mengalir deras di pipinya.

Jumat, 11 Januari 2013

So Far Away



Never feared for anything. Never shamed but never free
A laugh that healed the broken heart
With all that it could. Lived a life so endlessly
Saw beyond what others see. I tried to heal your broken heart
With all that I could. Will you stay?
Will you stay away forever?
How do I live without the ones I love?
Time still turns the pages of the book it's burned
Place and time always on my mind. I have so much to say but you're so far away.
Plans of what our futures hold. Foolish lies of growing old
It seems we're so invincible. The truth is so cold.
A final song, a last request. A perfect chapter laid to rest
Now and then I try to find. A place in my mind
Where you can stay. You can stay away forever.
Sleep tight I'm not afraid.
The ones that we love are here with me. 
Lay away a place for me. 'Cause as soon as I'm done I'll be on my way to live eternally
I love you, you were ready, the pain is strong and urges rise
But I'll see you when He let's me. Your pain is gone, your hands untied so far away. And I need you to know.

Kamis, 29 November 2012

I Won't Give Up



When I look into your eyes
It's like watching the night sky
Or a beautiful sunrise
There's so much they hold
And just like them old stars
I see that you've come so far
To be right where you are
How old is your soul?

I won't give up on us

Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up

And when you're needing your space

To do some navigating
I'll be here patiently waiting
To see what you find

'Cause even the stars they burn

Some even fall to the earth
We've got a lot to learn
God knows we're worth it
No, I won't give up

I don't wanna be someone who walks away so easily

I'm here to stay and make the difference that I can make
Our differences they do a lot to teach us how to use
The tools and gifts we got, yeah, we got a lot at stake
And in the end, you're still my friend at least we did intend
For us to work we didn't break, we didn't burn
We had to learn how to bend without the world caving in
I had to learn what I've got, and what I'm not, and who I am

I won't give up on us

Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up, still looking up.

Minggu, 11 November 2012

It's Always Been You


                Tepatnya dua tahun yang lalu, sudah lama sekali memang. Aku pun tidak tahu tepatnya kapan perasaan ini muncul. Perasaan ini tenang namun menjadi tidak beraturan saat dekat dengannya. Jangankan dekat, hanya sekedar melihatnya saja itu sudah cukup untukku. Cukup aku mencintainya dalam diam.
                “Taniaaaaaaaaaaa”
                Aku terbangun dari lamunanku. Suara yang tidak asing dan satu-satunya suara yang mampu membuatku jatuh cinta. Dan seperti biasa, sapaan hangatnya membuat mood ku bahkan menjadi sangat baik.
                “Ada apa?” Aku berusaha sedatar mungkin.
                “Ngg.... Nanti aku tunggu di lapangan basket jam 3 ya.”
               “Untuk apa? Melihatmu bermain basket lagi? Aku enggak bisa. Hari ini ada kelas.”
                “Bukan! Ini penting. Aku tunggu jam 3.”
                Lagi-lagi dia menuntut sesuatu yang tidak bisa aku tolak dan tanpa pikir panjang aku langsung menyetujuinya. Entahlah, asal itu bersamanya aku rela. Aku mau dan selalu bersedia.
                “Maaf telat. Mau ngomong apa?”
                “Ini............”
                Dia memberikanku secarik kertas dan memintaku untuk membacanya. Pelan tapi pasti aku membacanya dengan hati-hati. Aku tertegun. Tanpa sadar aku menitikkan air mata. Dan baru kali ini aku menangis karena perlakuannya. Perlakuan Randi. Aku terharu karena baru kali ini dia rela melakukan sesuatu demi membuatku bahagia. Ya, itu adalah formulir lomba novel yang dari dulu aku inginkan. Kali ini pun entah karena apa aku lebih bersemangat. Mungkin, lagi-lagi karena Randi. Dan secara tidak langsung aku melakukan semua ini karenanya.

########
                Hujan. Bisikku dalam hati. Seandainya disini ada Randi, pasti dia suka. Menghabiskan waktu diluar demi melihat dan merasakan hujan. Randi sangat suka dengan hujan. Jika sudah hujan dia pasti membentangkan tangannya dan membiarkan rintik hujan jatuh ke tangannya.
                “Inget Randi ya?”
                “Eh Luna. Ngagetin aja.”
                “Gimana hubungan kalian? Apa cuma bisa stuck dengan bersahabat aja?”
                “Entahlah. Dia susah ditebak. Mungkin keadaan aman ya seperti ini. Aku tetap mencintainya tanpa sepengetahuannya.”
                “Yakin akan bertahan? Cinta dalam diam itu sakit loh.”
             “Akan bertahan? Lalu selama dua tahun aku mencintainya dan tetap memilih diam, apa namanya kalau bukan bertahan? Selama bisa jadi penyemangat untuk dia, itu udah lebih dari cukup.”
                “Terkadang kita harus berani, nggak usah selalu beraada di garis aman. Jatuh lalu  bertahan lagi dan lagi demi orang yang kita cinta. Sakit bukan? You know what i mean, dear. Berjuanglah jika memang dia pantas diperjuangkan.”
                Aku diam dan mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulut Luna. Dia benar, setidaknya pembicaraan dengannya membuat aku semakin yakin jika Randi memang pantas diperjuangkan.

########

        Tania sedang duduk sendiri ditempat dia biasa menghabiskan waktu  bersama Randi. Sore itu memang tidak seperti biasanya, Tania terlihat sangat pendiam. Bahkan dihadapan Randi pun dia terkesan dingin. Tiba-tiba dadanya sesak, matanya memanas, hatinya sakit dan perih. Tanpa sadar pun air mata mengalir deras di pipinya. Dia pun menenggelamkan wajahnya dibalik kedua tangannya demi menyembunyikan isak tangisnya.
                “Aku tau kamu sedang ada masalah. Tapi sejak kapan sih kamu jadi nyembunyiin semuanya dari aku dan ngebiarin diri kamu sendiri yang nanggung semuanya, tanpa bicara, tanpa berbagi.” Randi pun tiba-tiba muncul. Entah darimana, entah dengan radar apa dia mengetahui keberadaanku disini.
                “Aku baik-baik aja. Aku cuma butuh waktu sendiri aja. Leave me alone, please!” Tania setengah memohon.
                “Baiklah aku pergi. But you know? I’m always here. Aku ada kalau kamu butuh.”
               Sepeninggal Randi aku menangis sejadi-jadinya. Aku benci dengan keadaanku yang seperti ini. Aku benci mengapa harus aku yang mencintai Randi. Percuma! Bagaimanapun itu akan selalu ada yang terluka. Dan itu aku.
                And i lift my hands and pray
                To be only yours
                I pray to be only yours
                I know now you’re my only hope.

########

                Dari jauh Randi melihat Tania sedang duduk sendiri di taman. Dengan pelan-pelan dan sedemikian mungkin mengatur degup jantungnya, dia pun menghampiri Tania.
                “Sendiri aja? Luna mana?”
                “Dia lagi ada kelas.”
                Biasanya saat mereka sedang berdua, diantara mereka pasti tidak ada yang mau mengalah saat sedang menceritakan sesuatu entah apapun itu. Tapi kali ini berbeda, ada jeda panjang diantara mereka yang seolah-olah mereka ciptakan untuk menutupi kecanggungan masing-masing.
                “Ngg.. Masalah kemarin maaf ya kalau aku terkesan terlalu maksa untuk nyuruh kamu cerita. Sekarang aku nggak akan maksa lagi kok. Itu privasi kamu dan aku hargai itu, I’m swear!” Randi tersenyum dan mengangkat dua jari seperti yang biasa kebanyakkan orang lakukan untuk berjanji. Cara sederhana namun diam-diam Tania mempercayainya.
                “Maaf ya kalau untuk masalah kemarin aku nggak bisa cerita. Mungkin suatu saat kamu akan tau kok.”
                Jeda lagi diantara mereka........
                “Duh jadi canggung gini, jangan diem aja Tania. Ngg... Gini deh, aku traktir ice cream yuk! Pasti mau kan!”
                “Mauuuuuuuuu!” Ayo ayo Randi!
                Dan sejak itulah hubungan mereka membaik. Randi bersyukur, karena setidaknya dia tidak akan kehilangan orang yang paling dicintainya. Tania.

########

                Hari ini tepat tanggal 14 Juni,  hari ulang tahun Tania. Randi yang sudah menyiapkan kado dari satu bulan yang lalu merasa gelisah, karena tepat hari ini dia akan menyatakan perasaannya pada Tania. Dari satu bulan yang lalu Randi sudah membeli satu boneka elmo besar dan satu paket aksesoris Harry Potter yang memang kesukaan Tania. Handphone Randi pun bergetar, ada sms masuk rupanya dan itu dari Tania yang mengabarkan bahwa dia sudah menunggu Randi di kafe tempat biasa.
              “Sebentar ya Tania. Just wait a moment and I’ll be there.”
           Sebentar lagi sampai. Sabar. Sabar. Randi memerintah dalam hatinya. Namun sayangnya tanpa pernah Randi sadari truk tronton melintas didepannya dan menyalip mobil Randi dengan kecepatan tinggi. Randi pun oleng dan kehilangan kendali. Alhasil mobil Randi terperosok dalam lubang. Randi pun terluka parah dibagian kepalanya.
                “Randi kamu kemana sih! Angkat dong telfonnya.” Tania gusar. Lalu sedetik kemudian handphone Tania berdering yang menandakan ada telefon masuk.

########

“Maaf kami sudah menanganinya semaksimal mungkin. Namun benturan hebat dikepalanya membuat ia tidak bisa bertahan.” Hanya itu kata-kata dokter yang masih Tania ingat. Tania tidak bisa membohongi perasaanya, dia terlalu hancur. Tak pernah terbayang ini akan terjadi. Dia hanya bisa menumpahkan semuanya seorang diri, tidak ada lagi tempat berbagi. Dia tidak perduli jika di hari ulang tahunnya aka gagal total. Yang dia inginkan hanyalah Randi ada disini. Dia hanya ingin memeluk Randi dan berharap ini semua hanyalah mimpi buruk. Jangan pernah minta aku bertahan, jika kamu saja tak bisa bertahan untukku, Randi.
         Dan tepat dimalam ini aku kehilangan semuanya, kehilangan sang penyemangatku. Aku harus ikhlas jika memang inilah yang Tuhan takdirkan. Nyatanya ini sudah ku alami.
       Tanpa Tania cegah, matanya memanas, tatapannya kosong sementara air mata terus mangalir di pipinya. Dia yakin hari-hari selanjutnya akan terasa berat tanpa sosok Randi.
Air mata pun jatuh tak tertahan melihatmu terdiam.
Ternyata kau pergi tuk selamanya,
Tinggalkan diriku dan cintaku.
Apa kau melihat dan mendengar tangis kehilangan dariku.
Baru saja ku ingin kau tau perasaanku.
           Randi aku berdiri disini untukmu. Terima kasih untuk semuanya, kini aku ikhlas. Hanya saja jangan salahkan aku jika aku belum terbiasa. Tuhan, aku titip Randi, jagi ia. Titip salamku untuknya. Kini, esok dan selamnya kau akan tetap ada dihatiku yang terdalam, walaupun kini aku hanya bisa memelukmu dalam doa. Selamat tinggal Randi. Tania pun melangkah pergi. Tanpa tangisan dan tanpa air mata. Hampa.