Nindy
masih terbaring lemah tak berdaya di salah satu kamar rumah sakit yang ia
tempati. Nata yang sedari tadi menemani Nindy di rumah sakit pun dibuat kalut
karena gadis itu masih belum juga
sadarkan diri. Hati Nata sakit melihat keadaan Nindy yang tak kunjung pulih. Gadis
itu telihat sangat lemah dan pucat pasi. Dia memikirkan bagaimana jika Nindy
tidak terselamatkan? Bagaimana jika jantung baru yang ada ditubuh Nindy tidak
diterima oleh tubuhnya. Bagaimana kalau? Ah Tuhan! Mengapa aku harus berpikir
semua kemungkinan terburuk itu??!!
“Nat…?
Kau melamun?”
“Ah
iya, kau berbicara apa tadi?” Nata tersenyum masam.
“Aku tanya, kau tidak pulang? Istirahatlah dirumah, biar aku yang menjaga Nindy
disini. Kau tampak kacau.”
“Ya
mungkin aku harus beristirahat. Tapi..?” Nata menoleh ke arah Nindy.
“Tenanglah,
kau tidak perlu kawatir. Aku sahabat Nindy, tidak mungkin aku tidak menjaganya.
Percayalah padaku.” Difa tersenyum meyakinkan Nata.
“Baiklah
nanti malam aku kembali. Terima kasih Difa, aku berhutang padamu.” Nata
tersenyum tulus.
“Sama-sama
Nat.” Difa pun ikut tersenyum dan memamerkan lesung pipinya.
Nata
melamun lagi. Dia kembali memikirkan kemungkinan terburuk yang akan dialami
Nindy. Oh Demi Tuhan! Mengapa harus
bayangan-bayangan buruk itu yang selalu menghantui Nata, dia bisa gila kalau
terus seperti ini. Mungkin Nata rasa dia
harus keluar sekedar barjalan-jalan sore untuk mencari udara segar. Difa benar Nata memang
sedang sangat kacau.
****
Nata
menghempaskan keras tubuhnya di sofa. Nata berniat kembali ke rumah sakit untuk
menjaga Nindy, tapi karena orang tua Nindy tidak mengizinkan dengan alasan Nata
harus beristirahat demi menjaga kondisi tubuhnya. Nata pun dengan sangat
terpaksa mengurungkan niatnya. Yaa, mungkin dia memang harus beristirahat
sebelum besok pagi ia harus kembali ke rumah sakit.
“Ada
apa, Nat? Kau terlihat muram.”
“Aku
tidak apa-apa Bian.” Jawab Nata enggan kepada Bian, adiknya.
“Bagaimana
keadaan Nindy? Sudah ada kemajuan?”
“Belum.
Nindy masih belum sadarkan diri pasca operasi transplantasi jantungnya kemarin,
entahlah aku hanya takut kalau Nindy…” Nata diam dan ragu meneruskan
kata-katanya.
“Jangan
begitu, berdoalah untuknya, bukan malah memikirkan hal buruk yang akan menimpa
Nindy. Percayalah padaku Nindy akan sembuh seperti sediakala.”
“Ya,
aku harap begitu. Terima kasih Bian.”
Bian pun bangun dan beranjak pergi
meninggalkan Nata yang lagi-lagi diam.
****
Keesokannya
keadaan Nindy sudah pulih. Dia sudah sadarkan diri dan keadaannya
berangsur-angsur membaik. Nata yang sedari pagi menemaninya pun merasa sangat
bahagia karena akhirnya dia bisa melihat lagi senyum Nindy, dia sangat
merindukan Nindy. Kekasihnya.
“Sini
aku bantu.” Dengan hati-hati Nata membantu Nindy duduk. Sejujurnya Nata merasa
Nindy masih terlalu lemah, tapi setidaknya dia bersyukur, dia masih memiliki
harapan besar untuk Nindy sembuh.
“Terima
kasih, Nat. Aku senang akhirnya bisa melihat senyummu lagi. Bagaimana keadaanmu?
Kau terlihat jauh lebih kurus.”
“Aku?
Aku sangat baik.” Nata pun tersenyum dan mencium kening Nindy. Sementara dari
luar kamar, Difa melihat kebahagiaan itu dari wajah Nindy, pipi Nindy merona
merah dan matanya berbinar-binar. Jelas sekali ada kebahagiaan disitu. Difa
tahu Nindy beruntung memiliki Nata.
“Aku
rasa kehadiranku disini mengganggu kalian. Tapi berhubung aku tidak sabar
bertemu Nindy, jadi aku harap kalian tidak marah jika aku mengganggu kalian. Aku
janji hanya sebentar.” Difa tersenyum geli dan melirik Nata.
“Ah
tidak! Tentu kau tidak mengganggu. Aku merindukanmu Difa.” Nindy pun memeluk
Difa. Erat.
“Well, aku rasa aku akan membiarkan
kalian berdua saling melepas rindu. Sementara aku akan kebawah mencari kopi.”
Difa
dan Nindy pun tertawa geli.
Hari
ini keadaan hati Nata sangat baik. Dia terlihat sangat ceria. Bahkan kebahagiaan
jelas-jelas terlihat di wajahnya. Ya, dia bahagia sudah bisa melihat senyum
Nindy, mendengar suaranya. Semua itu membuat Nata tenang dan membuat dia
semakin merindukan Nindy. Nata semakin takut kehilangan Nindy. Untuk Nindy, aku bersedia melakukan apapun,
dalam hatinya.
“Nggg….Nat?”
“Iya
ada apa?” Jawab Nata lembut.
“Kalau
aku sudah sembuh nanti, aku masih ingin melanjutkan pendidikanku di Jepang.”
Hati
Nata mencelos, baru saja dia merasa bahagia Nindy sudah kembali. Yaa, Nata
bahagia Nindy sudah kembali lagi bersamanya setelah beberapa hari dia terbaring
lemah tak sadarkan diri. Tapi sekarang rasanya kebahagiaan itu lenyap. Ia merasa
hampa. Apa dia harus melepas Nindy untuk jauh darinya sementara Nata tidak
yakin dia bisa melakukan hal itu. Tanpa Nindy.
“Nat?”
“Hah?
Iya? Ngg…Menurutku…” Nata tidak melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa?
Kau tidak setuju ya?” Kekecewaan jelas terlihat di mata Nindy.
“Bukan,
bukan begitu. Tapi apa kau sudah yakin? Maksudku melihat keadaanmu yang belum
begitu pulih?”
“Nataaaaaa,
aku sudah bilang bukan, aku ingin melanjutkan pendidikanku di Jepang setelah
nanti aku benar-benar sembuh. Kau tidak perlu khawatir.” Nindy tersenyum
meyakinkan.
“Jika itu memang mimpimu, aku tidak
mempunyai alasan lain selain menyetujuinya.” Nata tersenyum menenangkan Nindy. Tapi
jauh, jauh sekali dilubuk hatinya dia mulai merasa takut. Dan rasa takut itu
muncul lagi.
****
Jika itu memang
mimpimu, aku tidak mempunyai alasan lain selain menyetujuinya. Nindy tersenyum mengingat kata-kata
yang diucapkan Nata tadi. Nata begitu
mengerti apa yang diinginkan Nindy. Nata begitu berharga untuknya. Nindy bahkan
rela meletakkan kebahagiaan Nata diatas kebahagiaannya. Nindy tahu bahwa sejak
awal dia sudah benar mencintai Nata. Ini semua yang membuat Nindy bertahan
melawan penyakitnya. Demi dirinya, demi orang tuanya, dan demi Nata.
“Hai
sayang, kata dokter hari ini kamu sudah diizinkan pulang, nanti orang tuamu
akan menyusul.”
Nindy
mengerjap, matanya berbinar-binar. Dia bahagia. Sangat bahagia. Jika sudah
diperbolehkan pulang, otomatis keadaannya sudah membaik. Dan itu pertanda
bagus.
“Benarkah?
Ah, aku tidak sabar pulang. Aku sudah bosan disini, setiap hari selalu mencium
bau obat-obatan.” Nindy mendengus kesal dan spontan membuat Nata tertawa.
“Dan
satu lagi, kata dokter keadaanmu sudah pulih dan keadaan jantungmu semakin hari
semakin membaik. Aku senang mendengar apa kata dokter tadi.” Nata tidak bisa
menyembunyikan kebahagiaannya, dia sangat bahagia Nindy sudah sembuh.
Dan
jadilah hari ini hari paling menyenangkan sekaligus membahagiakan untuk Nindy. Hari ini sempurna. Ucap Nindy dalam
hati.
Satu
bulan berlalu, itu tandanya dia sudah harus pergi untuk melanjutkan
pendidikannya di salah satu Universitas ternama di Jepang. Perasaannya
bercampur aduk, dia bahagia bisa meraih mimpinya. Tapi dia sangat berat
meninggalkan orang tuanya, Difa dan Nata. Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk
Nindy terbiasa tanpa Nata.
“Aku
akan baik-baik saja disana, setiap liburan aku pasti akan pulang ke Indonesia
untuk menemanimu.”
Nata
tersenyum, dia tidak bisa berkata apa-apa. Dia merasa kehilangan, benar-benar
akan kehilangan.
“Jangan
diam saja, bicaralah.”
“Aku
akan merindukanmu. Tolong jaga dirimu baik-baik disana, jaga kesehatanmu.”
“Pasti!”
Jawabnya mantap. “Ngg…Nat, tunggu aku ya, aku pasti kembali untukmu. Jangan
lelah menungguku. Aku mohon, bersabarlah sampai aku benar-benar kembali
untukmu.” Nada suara Nindy melemah.
“Tanpa
kau minta, tanpa kau paksa aku pasti akan selalu menunggumu, aku pasti akan
menyempatkan untuk mengunjungimu ke Jepang.”
“Aku
menyayangimu, Nat. Sungguh!” Mata Nindy mulai berkaca-kaca, ternyata
meninggalkan Nata sangat sulit untuknya.
“Sudah
jangan menangis, baik-baiklah disana. Aku pasti menunggumu.” Mata Nata memanas,
dia takut air mata akan jatuh di pipinya, dia pun membuang muka demi menahan
jatuh air matanya.
Nata
pun memeluk Nindy erat. Ia takut, sangat takut akan kehilangan Nindy. Setelah Nindy
berpamitan pada Difa dan orang tuanya yang mengantarnya ke bandara. Sekali lagi,
dia menoleh ke arah Nata dan memeluk Nata sangat erat. Lalu berjalan memasuki
area bandara.
Nindy
kejarlah mimpimu. Disini aku akan selalu mendukungmu dan mendoakanmu. Empat tahun
tidak akan lama, aku yakin itu. Cepatlah pulang, aku menunggumu. Nata pun
berbalik dan air mata sudah mengalir deras di pipinya.