Jumat, 26 April 2013

Quote


“Aku sudah katakan ini berulang kali bukan? Aku hanya meminta kau untuk tetap disini. Kau, jangan pernah pergi.”

Sabtu, 20 April 2013

Quote



“You were never supposed to mean this much to me, I was never supposed to fall so hard. But you know what? I did and that is the truth, that’s what keeps me holding on because it hurts like hell to let you go for a while.’’

Kesekian Kalinya


Lagi….
Nampaknya hatiku akan luka lebam lagi.
Ya, walaupun hanya sementara. Tapi luka itu tetap saja nyata.
Walaupun nyatanya akan kembali lagi. Tetap saja hatiku sudah terkoyak.
Mungkin aku salah satu pihak yang tak pernah menyetujui hal konyol seperti ini. Untuk apa?
Apa hanya untuk menambah luka?
Atau hanya untuk membuatku semakin tercabik lagi?
Aku harus berjuang menahan rindu sendiri.
Saat aku menulis ini, mataku sudah memanas, mungkin bulir bening itu akan jatuh lagi.
Sejak semalam aku berjuang menahan rasa sakit ini sendiri. Tanpa siapa-siapa.
Aku ingin semuanya cepat terlewati.
Aku ingin segera akhiri rasa sakit ini.
Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa menunggu semuanya kembali seperti sedia kala.
Ya memang, aku hanya bisa menunggu.
Aku akan kembali lagi. Tapi satu pintaku, jangan pernah buat aku bahkan hatiku memar lagi seperti saat ini.

Senin, 08 April 2013

Untumu. Aku Rela




Nindy masih terbaring lemah tak berdaya di salah satu kamar rumah sakit yang ia tempati. Nata yang sedari tadi menemani Nindy di rumah sakit pun dibuat kalut karena gadis itu masih belum  juga sadarkan diri. Hati Nata sakit melihat keadaan Nindy yang tak kunjung pulih. Gadis itu telihat sangat lemah dan pucat pasi. Dia memikirkan bagaimana jika Nindy tidak terselamatkan? Bagaimana jika jantung baru yang ada ditubuh Nindy tidak diterima oleh tubuhnya. Bagaimana kalau? Ah Tuhan! Mengapa aku harus berpikir semua kemungkinan terburuk itu??!!

“Nat…? Kau melamun?”
“Ah iya, kau berbicara apa tadi?” Nata tersenyum masam.
“Aku tanya, kau tidak pulang? Istirahatlah dirumah, biar aku yang menjaga Nindy disini. Kau tampak kacau.”
“Ya mungkin aku harus beristirahat. Tapi..?” Nata menoleh ke arah Nindy.
“Tenanglah, kau tidak perlu kawatir. Aku sahabat Nindy, tidak mungkin aku tidak menjaganya. Percayalah padaku.” Difa tersenyum meyakinkan Nata.
“Baiklah nanti malam aku kembali. Terima kasih Difa, aku berhutang padamu.” Nata tersenyum tulus.
“Sama-sama Nat.” Difa pun ikut tersenyum dan memamerkan lesung pipinya.

Nata melamun lagi. Dia kembali memikirkan kemungkinan terburuk yang akan dialami Nindy. Oh Demi Tuhan!  Mengapa harus bayangan-bayangan buruk itu yang selalu menghantui Nata, dia bisa gila kalau terus seperti ini.  Mungkin Nata rasa dia harus keluar sekedar barjalan-jalan sore untuk  mencari udara segar. Difa benar Nata memang sedang sangat kacau.


****
Nata menghempaskan keras tubuhnya di sofa. Nata berniat kembali ke rumah sakit untuk menjaga Nindy, tapi karena orang tua Nindy tidak mengizinkan dengan alasan Nata harus beristirahat demi menjaga kondisi tubuhnya. Nata pun dengan sangat terpaksa mengurungkan niatnya. Yaa, mungkin dia memang harus beristirahat sebelum besok pagi ia harus kembali ke rumah sakit.

“Ada apa, Nat? Kau terlihat muram.”
“Aku tidak apa-apa Bian.” Jawab Nata enggan kepada Bian, adiknya.
“Bagaimana keadaan Nindy? Sudah ada kemajuan?”
“Belum. Nindy masih belum sadarkan diri pasca operasi transplantasi jantungnya kemarin, entahlah aku hanya takut kalau Nindy…” Nata diam dan ragu meneruskan kata-katanya.
“Jangan begitu, berdoalah untuknya, bukan malah memikirkan hal buruk yang akan menimpa Nindy. Percayalah padaku Nindy akan sembuh seperti sediakala.”
“Ya, aku harap begitu. Terima kasih Bian.”
Bian pun bangun dan beranjak pergi meninggalkan Nata yang lagi-lagi diam.
 ****
Keesokannya keadaan Nindy sudah pulih. Dia sudah sadarkan diri dan keadaannya berangsur-angsur membaik. Nata yang sedari pagi menemaninya pun merasa sangat bahagia karena akhirnya dia bisa melihat lagi senyum Nindy, dia sangat merindukan Nindy. Kekasihnya.

“Sini aku bantu.” Dengan hati-hati Nata membantu Nindy duduk. Sejujurnya Nata merasa Nindy masih terlalu lemah, tapi setidaknya dia bersyukur, dia masih memiliki harapan besar untuk Nindy sembuh.
“Terima kasih, Nat. Aku senang akhirnya bisa melihat senyummu lagi. Bagaimana keadaanmu? Kau terlihat jauh lebih kurus.”
“Aku? Aku sangat baik.” Nata pun tersenyum dan mencium kening Nindy. Sementara dari luar kamar, Difa melihat kebahagiaan itu dari wajah Nindy, pipi Nindy merona merah dan matanya berbinar-binar. Jelas sekali ada kebahagiaan disitu. Difa tahu Nindy beruntung memiliki Nata.
“Aku rasa kehadiranku disini mengganggu kalian. Tapi berhubung aku tidak sabar bertemu Nindy, jadi aku harap kalian tidak marah jika aku mengganggu kalian. Aku janji hanya sebentar.” Difa tersenyum geli dan melirik Nata.
“Ah tidak! Tentu kau tidak mengganggu. Aku merindukanmu Difa.” Nindy pun memeluk Difa. Erat.
Well, aku rasa aku akan membiarkan kalian berdua saling melepas rindu. Sementara aku akan kebawah mencari kopi.”
Difa dan Nindy pun tertawa geli.

****
 
Hari ini keadaan hati Nata sangat baik. Dia terlihat sangat ceria. Bahkan kebahagiaan jelas-jelas terlihat di wajahnya. Ya, dia bahagia sudah bisa melihat senyum Nindy, mendengar suaranya. Semua itu membuat Nata tenang dan membuat dia semakin merindukan Nindy. Nata semakin takut kehilangan Nindy. Untuk Nindy, aku bersedia melakukan apapun, dalam hatinya.

“Nggg….Nat?”
“Iya ada apa?” Jawab Nata lembut.
“Kalau aku sudah sembuh nanti, aku masih ingin melanjutkan pendidikanku di Jepang.”

Hati Nata mencelos, baru saja dia merasa bahagia Nindy sudah kembali. Yaa, Nata bahagia Nindy sudah kembali lagi bersamanya setelah beberapa hari dia terbaring lemah tak sadarkan diri. Tapi sekarang rasanya kebahagiaan itu lenyap. Ia merasa hampa. Apa dia harus melepas Nindy untuk jauh darinya sementara Nata tidak yakin dia bisa melakukan hal itu. Tanpa Nindy.

“Nat?”
“Hah? Iya? Ngg…Menurutku…” Nata tidak melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa? Kau tidak setuju ya?” Kekecewaan jelas terlihat di mata Nindy.
“Bukan, bukan begitu. Tapi apa kau sudah yakin? Maksudku melihat keadaanmu yang belum begitu pulih?”
“Nataaaaaa, aku sudah bilang bukan, aku ingin melanjutkan pendidikanku di Jepang setelah nanti aku benar-benar sembuh. Kau tidak perlu khawatir.” Nindy tersenyum meyakinkan.
“Jika itu memang mimpimu, aku tidak mempunyai alasan lain selain menyetujuinya.” Nata tersenyum menenangkan Nindy. Tapi jauh, jauh sekali dilubuk hatinya dia mulai merasa takut. Dan rasa takut itu muncul lagi.

 ****
Jika itu memang mimpimu, aku tidak mempunyai alasan lain selain menyetujuinya. Nindy tersenyum mengingat kata-kata yang diucapkan Nata tadi.  Nata begitu mengerti apa yang diinginkan Nindy. Nata begitu berharga untuknya. Nindy bahkan rela meletakkan kebahagiaan Nata diatas kebahagiaannya. Nindy tahu bahwa sejak awal dia sudah benar mencintai Nata. Ini semua yang membuat Nindy bertahan melawan penyakitnya. Demi dirinya, demi orang tuanya, dan demi Nata.

“Hai sayang, kata dokter hari ini kamu sudah diizinkan pulang, nanti orang tuamu akan menyusul.”
Nindy mengerjap, matanya berbinar-binar. Dia bahagia. Sangat bahagia. Jika sudah diperbolehkan pulang, otomatis keadaannya sudah membaik. Dan itu pertanda bagus.
“Benarkah? Ah, aku tidak sabar pulang. Aku sudah bosan disini, setiap hari selalu mencium bau obat-obatan.” Nindy mendengus kesal dan spontan membuat Nata tertawa.
“Dan satu lagi, kata dokter keadaanmu sudah pulih dan keadaan jantungmu semakin hari semakin membaik. Aku senang mendengar apa kata dokter tadi.” Nata tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, dia sangat bahagia Nindy sudah sembuh.
Dan jadilah hari ini hari paling menyenangkan sekaligus membahagiakan untuk Nindy. Hari ini sempurna. Ucap Nindy dalam hati.

****
 
Satu bulan berlalu, itu tandanya dia sudah harus pergi untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu Universitas ternama di Jepang. Perasaannya bercampur aduk, dia bahagia bisa meraih mimpinya. Tapi dia sangat berat meninggalkan orang tuanya, Difa dan Nata. Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk Nindy terbiasa tanpa Nata.

“Aku akan baik-baik saja disana, setiap liburan aku pasti akan pulang ke Indonesia untuk menemanimu.”
Nata tersenyum, dia tidak bisa berkata apa-apa. Dia merasa kehilangan, benar-benar akan kehilangan.
“Jangan diam saja, bicaralah.”
“Aku akan merindukanmu. Tolong jaga dirimu baik-baik disana, jaga kesehatanmu.”
“Pasti!” Jawabnya mantap. “Ngg…Nat, tunggu aku ya, aku pasti kembali untukmu. Jangan lelah menungguku. Aku mohon, bersabarlah sampai aku benar-benar kembali untukmu.” Nada suara Nindy melemah.
“Tanpa kau minta, tanpa kau paksa aku pasti akan selalu menunggumu, aku pasti akan menyempatkan untuk mengunjungimu ke Jepang.”
“Aku menyayangimu, Nat. Sungguh!” Mata Nindy mulai berkaca-kaca, ternyata meninggalkan Nata sangat sulit untuknya.
“Sudah jangan menangis, baik-baiklah disana. Aku pasti menunggumu.” Mata Nata memanas, dia takut air mata akan jatuh di pipinya, dia pun membuang muka demi menahan jatuh air matanya.

Nata pun memeluk Nindy erat. Ia takut, sangat takut akan kehilangan Nindy. Setelah Nindy berpamitan pada Difa dan orang tuanya yang mengantarnya ke bandara. Sekali lagi, dia menoleh ke arah Nata dan memeluk Nata sangat erat. Lalu berjalan memasuki area bandara.

Nindy kejarlah mimpimu. Disini aku akan selalu mendukungmu dan mendoakanmu. Empat tahun tidak akan lama, aku yakin itu. Cepatlah pulang, aku menunggumu. Nata pun berbalik dan air mata sudah mengalir deras di pipinya.

Minggu, 07 April 2013

Ini Tentang Kau dan Aku




1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan
Aku tidak tau kau semenyenangkan ini.
Oke, baiklah aku sudah tau jelas akan hal itu.


Tapi rasa menyenangkan dan menenangkan itu selalu berhasil kau ciptakan saat aku sedang bersamamu.
Setiap hari rasanya aku selalu jatuh lagi dan lagi kedalam semesta cintamu.
Ya, aku hanya tidak bersedia suatu saat nanti ketika aku kembali membuka mataku, aku mendapati kenyataan bahwa aku bukanlah milikmu lagi.
Aku hanya ingin dia untukku. Egois memang.
Tapi sungguh! Aku belum merasakan seperti ini sebelumnya.
Begitu mencintai terlalu dalam dan begitu takut akan kehilangan.
Aku tau aku tidak sempurna dan tidak akan pernah bisa seperti itu. Tapi rasa ini sudah jelas sempurna untuknya.
Tuhan, tolong biarkan aku tetap seperti ini. Tetap bahagia karena adanya dia.
Kata kamu dulu, Jika kita memang dipertemukan untuk suatu tujuan, maka biarkan kamu menjadikan aku sebagai pelabuhan untuk menuju tujuan itu. Dan aku percaya…
Maka biarkan aku untuk selalu menjadi pelabuhan itu, yang bukan hanya sebagai tempat persinggahanmu.
Melainkan sebagai tempat untuk kau tinggali didalamnya. Selamanya.